VIVA – Kantor Staf Presiden menilai, potensi pelemahan atau resesi ekonomi Amerika Serikat yang bakal terjadi, cenderung kurang memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi perekonomian Indonesia, ketimbang potensi perlambatan ekonomi China.
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari menjelaskan, resesi ekonomi AS cenderung memberikan berkah bagi ekonomi Indonesia, terutama dari sisi semakin besarnya potensi arus modal asing yang masuk.
Sebab, perlambatan itu menurutnya menjadikan sinyal pasti bahwa Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) tidak akan banyak menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini ketimbang tahun lalu yang mencapai empat kali.
"Blessing in disguise sebenarnya bahwa dengan melambatnya ekonomi AS maka kita bisa memprediksi bahwa rencana peningkatan suku bunga The Fed mungkin akan tidak secepat dari prediksi tahun lalu. Ini adalah opportunity buat Indonesia untuk memacu pertumbuhan kita," kata Puspa di Jakarta, Selasa, 26 Maret 2019.
Dia menambahkan, perlambatan ekonomi China lebih mengkhawatirkan ketimbang perlambatan ekonomi AS, karena China merupakan mitra dagang utama Indonesia yang paling besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Februari 2019, China memang peringkat utama pangsa ekspor Indonesia mencapai 13,52 persen, sementara AS hanya 11,54 persen, begitu juga untuk pangsa impor.
"Yang paling kita khawatirkan adalah perlambatan ekonomi China, karena China partner dagang terbesar di Indonesia baik untuk ekspor maupun impor. Jadi bukan sebenarnya AS. Jadi kita lebih worried apa yang terjadi dengan China," tegas dia.
"Tetapi kita melihat bahwa sebenarnya ekonomi China tumbuhnya cukup robust dan perlambatannya kurang dari 0,2 persen. Jadi dalam hal ini saya pikir China pun akan mengalami softlanding dan tetap saja menjadi sumber kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi dunia," ujarnya menambahkan.
Sebagai informasi, sinyal terjadinya pelemahan pada perekonomian Amerika Serikat (AS) hingga dua kuartal ke depan ditandai dengan meningkatnya imbal hasil obligasi pemerintah AS atau treasury bond (T-bill) untuk tenor jangka pendek dan jangka panjang.
Berdasarkan data Departemen Keuangan AS, Senin 25 Maret 2019 waktu setempat, imbal hasil T-bill bertenor tiga bulan tercatat sebesar 2,46 persen, sedangkan imbal hasil T-bill bertenor 10 tahun tercatat 2,43 persen. Dengan begitu, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar dibandingkan jangka panjang. (mus)
Read More
No comments:
Post a Comment